Sabtu, 07 Mei 2011

Kemungkaran Mewabah di Pulau Mandangin

Sepeda motor yang di pakai oleh masyarakat Mandangin kebanyakan tidak sah, baik secara keagamaan maupun kepemerintahan. Sebab sepeda yang 'miliki' statusnya GELAP, masih milik orang lain. Jika mereka berdalih membeli, maka pembeliannya tidak diakui oleh syara'. Sebab pembelian semacam ini, dalam literatur fikih disebut Bai' Fudluli (jual beli yang bukan miliknya sendiri). Sepeda itu asal mulanya hilang dari pemilik resminya sebab dicuri atau semacamnya. Kasus bermotor gelap di Mandangin semakin menjamur. Yang sangat disayangkan, sekelompok kiyai, ustad dan tokoh agama melakukan praktek keji ini. Jika demikian realitanya, sulit doa mereka diterima. Sebab mengabaikan sifat wara' yang menjadi penyebab terkabulnya doa. Semoga Allah menunjukkan kita semua. Amin!

Kemungkaran Mewabah di Pulau Mandangin

Sepeda motor yang di pakai oleh masyarakat Mandangin kebanyakan tidak sah, baik secara keagamaan maupun kepemerintahan. Sebab sepeda yang 'miliki' statusnya GELAP, masih milik orang lain. Jika mereka berdalih membeli, maka pembeliannya tidak diakui oleh syara'. Sebab pembelian semacam ini, dalam literatur fikih disebut Bai' Fudluli (jual beli yang bukan miliknya sendiri). Sepeda itu asal mulanya hilang dari pemilik resminya sebab dicuri atau semacamnya. Kasus bermotor gelap di Mandangin semakin menjamur. Yang sangat disayangkan, sekelompok kiyai, ustad dan tokoh agama melakukan praktek keji ini. Jika demikian realitanya, sulit doa mereka diterima. Sebab mengabaikan sifat wara' yang menjadi penyebab terkabulnya doa. Semoga Allah menunjukkan kita semua. Amin!

Minggu, 06 Maret 2011

KESEHATAN

1. ZYPRAZ-05 (1X, MALAM)
2. MEFINAL-500 (MALAM 1X-PAGI 1X)
3. COMPROZ-30 (1X).
NB: 1 UNTUK MENANGKAN SYARAP DAN ANTI DEPRESI. 2 UNTUK PENGHILANG NYERI. SAKIT KEPALA MISALNYA. 3 UNTUK LAMBUNG ATAU MAAG. 1 DAN 2 ADALAH OBAT YANG RELATIF AMAN. MINIM EFEK SAMPING. TAK SEPERTI 3, YAITU COMPROZ.
(DR. MADE, SPESIALIS NEUROLOGI, PAMEKASAN)

KESEHATAN

1. ZYPRAZ-05 (1X, MALAM)
2. MEFINAL-500 (MALAM 1X-PAGI 1X)
3. COMPROZ-30 (1X).
NB: 1 UNTUK MENANGKAN SYARAP DAN ANTI DEPRESI. 2 UNTUK PENGHILANG NYERI. SAKIT KEPALA MISALNYA. 3 UNTUK LAMBUNG ATAU MAAG. 1 DAN 2 ADALAH OBAT YANG RELATIF AMAN. MINIM EFEK SAMPING. TAK SEPERTI 3, YAITU COMPROZ.
(DR. MADE, SPESIALIS NEUROLOGI, PAMEKASAN)

Rabu, 02 Maret 2011

Bid’ah Hasanah dan Dalilnya


 
Bid’ah hasanah adalah persoalan yang tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini di samping karena banyak inovasi amaliah kaum Muslimin yang tercover dalam bingkai bid’ah hasanah, juga karena adanya kelompok minoritas umat Islam yang sangat kencang menyuarakan tidak adanya bid’ah hasanah dalam Islam. Akhirnya kontroversi bid’ah hasanah ini selalu menjadi aktual untuk dikaji dan dibicarakan. Toh walaupun sebenarnya khilafiyah tentang pembagian bid’ah menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, tidak perlu terjadi. Karena di samping dalil-dalil Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah cukup banyak dan sangat kuat, juga karena konsep bid’ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin. Namun apa boleh dikata, kelompok yang anti bid’ah hasanah tidak pernah bosan dan lelah untuk membicarakannya.
 
Dalam sebuah diskusi dengan tema Membedah Kontroversi Bid’ah, yang diadakan oleh MPW Fahmi Tamami Provinsi Bali, di Denpasar, pada bulan Juli 2010, saya terlibat dialog cukup tajam dengan beberapa tokoh Salafi yang hadir dalam acara tersebut. Dalam acara itu, saya menjelaskan, bahwa pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan keharusan dan keniscayaan dari pengamalan sekian banyak hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar). Karena meskipun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
 
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ t قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r: إِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَالْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةُ. (رواه مسلم).
 
“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim [867]).
 
Termyata Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
 
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ. رواه مسلم
 
“Jarir bin Abdullah al-Bajali radhiyallahu anhu berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).
 
Dalam hadits pertama, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan, bahwa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Di sisi lain, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam seringkali melegitimasi beragam bentuk inovasi amaliah para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh beliau. Misalnya berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq dalam shalat berjamaah dalam hadits shahih berikut ini:
 
عَنْ عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى قَالَ: (كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ r إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنَ الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوْا إِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ r ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ r «سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ».وَفِيْ رِوَايَةِ سَيِّدِنَا مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ: (إِنَّهُ قَدْ سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ فَهَكَذَا فَاصْنَعُوْا). رواه أبو داود وأحمد ، وابن أبي شيبة، وغيرهم، وقد صححه الحافظ ابن دقيق العيد والحافظ ابن حزم.
 
“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam shalat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau shallallahu alaihi wa sallam menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, beliau shallallahu alaihi wa sallam bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian. Begitulah cara shalat yang harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).
 
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadits ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam shalat sebelum bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan aturan shalat berjamaah, yaitu makmum harus mengikuti imam. Dalam hadits lain diriwayatkan:
 
وَعَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ t قَالَ : كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ r فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ : أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا». رواه البخاري. 
 
“Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu anhu berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fih”. Setelah selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).
 
Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, yaitu menambah bacaan dzikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi kabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain. Seandainya hadits “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam akan melarang setiap bentuk inovasi dalam agama ketika beliau masih hidup.
 
Selanjutnya pembagian bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, juga dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu alaihi wa sallam, termasuk Khulafaur Rasyidin. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
 
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ t لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلى الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ t: إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ. رواه البخاري.
 
“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Ternyata orang-orang di masjid berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu Umar radhiyallahu anhu berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari [2010]).
 
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar radhiyallahu anhu. Kemudian Umar radhiyallahu anhu mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
 
وَعَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ t قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ r وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ t وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلىَ الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌ فِيْ سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ. رواه البخاري.
 
“Al-Sa’ib bin Yazid radhiyallahu anhu berkata: “Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari [916]).
 
Pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambah adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan shalat Jum’at, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena Utsman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.
 
Selanjutnya, beragam inovasi dalam amaliah keagamaan juga dipraktekkan oleh para sahabat secara individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, al-Hasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah-nya ketika menunaikan ibadah haji berbeda dengan redaksi talbiyah yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafizh al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ al-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan al-Hasan al-Bashri melakukan shalat Qabliyah dan Ba’diyah shalat idul fitri dan idul adhha.
 
Berangkat dari sekian banyak hadits-hadits shahih di atas, serta perilaku para sahabat, para ulama akhirnya berkesimpulan bahwa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah. Al-Imam al-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab al-Syafi’i berkata:
 
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩).
 
“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Pernyataan al-Imam al-Syafi’i ini juga disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (juz. 20, hal. 163).”
 
Setelah saya memaparkan penjelasan di atas, Ustadz Husni Abadi, pembicara yang mewakili kaum Salafi pada waktu itu, tidak mampu membantah dalil-dalil yang saya ajukan. Anehnya ia justru mengajukan dalil-dalil lain yang menurut asumsinya menunjukkan tidak adanya bid’ah hasanah. Seharusnya dalam sebuah perdebatan, pihak penentang (mu’taridh) melakukan bantahan terhadap dalil-dalil yang diajukan oleh pihak lawan, sebagaimana diterangkan dalam ilmu Ushul Fiqih. Apabila pihak penentang tidak mampu mematahkan dalil-dalil pihak lawan, maka argumentasi pihak tersebut harus diakui benar dan shahih.
 
Ustadz Husni Abadi berkata: “Ustadz, dalam soal ibadah kita tidak boleh membuat-buat sendiri. Kita terikat dengan kaedah al-ashlu fil-ibadah al-buthlan hatta yadulla al-dalil ‘ala al-’amal, (hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya)”.
 
Mendengar pernyataan Ustadz Husni, saya menjawab: “Kaedah yang Anda sebutkan tidak dikenal dalam ilmu fiqih. Dan seandainya kaedah yang Anda sebutkan ada dalam ilmu fiqih, maka kaedah tersebut tidak menolak adanya bid’ah hasanah. Karena Anda tadi mengatakan, bahwa dalam soal ibadah tidak boleh membuat-buat sendiri. Maksud Anda tidak boleh membuat bid’ah hasanah. Lalu Anda berargumen dengan kaedah, hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya. Tadi sudah kami buktikan, bahwa bid’ah hasanah banyak sekali dalilnya. Berarti, kaedah Anda membenarkan mengamalkan bid’ah hasanah, karena dalilnya jelas.”
HA berkata: “Ustadz, dalam surat al-Maidah, ayat 3 disebutkan:
 
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ.

“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”
 
Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti berasumsi bahwa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”
 
Saya menjawab: “Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang Anda sebutkan tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Karena yang dimaksud dengan penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama tafsir, adalah bahwa Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan kaedah-kaedah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menginstruksikan shalat tarawih secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, serta beragam bid’ah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi. Jadi, ayat yang Anda sebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justru bid’ah hasanah masuk dalam kesempurnaan agama, karena dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul shallallahu alaihi wa sallam dan perilaku para sahabat.”
 
HA berkata: “Ustadz, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadits tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam. Bukankah redaksinya berbunyi, man sanna fil Islaam sunnatan hasanatan. Di samping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, yaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada tuntunannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Ustadz jadikan dalil bid’ah hasanah tidak proporsional.”
 
Saya menjawab: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berpikir jernih dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah diartikan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diridhai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak bisa dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, yaitu ma ja’a ‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir (segala sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah dengan definisi terminologis ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Seandainya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan rancu. Coba kita amati, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Nah, kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam dalam terminologi ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahwa Sunnah Rasul shallallahu alaihi wa sallam itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi’ah (jelek). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh karena itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahwa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, karena makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan.
 
Selanjutnya, alasan Anda bahwa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqih telah kita kenal kaedah, al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab, (peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada keumuman kalimat, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).”
 
HA berkata: “Ustadz, menurut al-Imam Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada. Yang namanya bid’ah itu pasti sesat.”
 
Saya menjawab: “Maaf, Anda salah dalam mengutip pendapat al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali. Justru al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbedaan istilah saja. Sebagai bukti, bahwa Ibn Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min Jamawi’ al-Kalim, beliau mengutip pernyataan al-Imam al-Syafi’i yang membagi bid’ah menjadi dua. Dan seandainya al-Imam Ibn Rajab memang berpendapat seperti yang Anda katakan, kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ah hasanah.”
 
HA berkata: “Ustadz, dalil-dalil yang Anda ajukan dari Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Utsman dan Ali, itu tidak bisa dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena mereka termasuk Khulafaur Rasyidin. Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin al-mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk). Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.”
 
Saya menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, menurut hemat kami sebenarnya yang tidak mengikuti Khulafaur Rasyidin itu orang yang menolak bid’ah hasanah seperti Anda. Karena Khulafaur Rasyidin sendiri melakukan bid’ah hasanah. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita mengikuti Khufaur Rasyidin. Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah hasanah. Berarti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan kita melakukan bid’ah hasanah. Dengan demikian kami yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan bid’ah hasanah sebanyak-banyaknya.”
 
HA berkata: “Ustadz Idrus, kalau Anda mengatakan bahwa hadits kullu bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan artian bahwa sebagian bid’ah itu sesat, bukan semua bid’ah, lalu apakah Anda akan mengartikan teks berikutnya, yang berbunyi wa kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang sama, bahwa sebagian kesesatan itu masuk neraka, bukan semuanya. Apakah Ustadz berani mengartikan demikian?”
 
Saya menjawab: “Ustadz Husni yang saya hormati, dalam mengartikan atau membatasi jangkauan makna suatu ayat atau hadits, kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para ulama mengartikan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan arti sebagian besar bid’ah itu sesat, karena ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian. Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di neraka), di sini kami tegaskan, bahwa selama kami tidak menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah. Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula, bukan dengan hawa nafsu.” Demikianlah dialog saya dengan Ustadz Husni Abadi, di Denpasar pada akhir Juli 2010 yang lalu.

Di Islamic Center Jakarta Utara
 
Ada kisah menarik berkaitan dengan bid’ah hasanah yang perlu diceritakan di sini. Kisah ini pengalaman pribadi Ali Rahmat, laki-laki gemuk yang sekarang tinggal di Jakarta Pusat. Beliau pernah kuliah di Syria setelah tamat dari Pondok Pesantren Assunniyah Kencong, Jember. Ali Rahmat bercerita, “Pada pertengahan 2009, kaum Wahhabi mengadakan pengajian di Islamic Center Jakarta Utara. Tampil sebagai pembicara, Yazid Jawas dan Abdul Hakim Abdat, dua tokoh Wahhabi di Indonesia.
 
Pada waktu itu, saya sengaja hadir bersama beberapa teman alumni Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, antara lain Ustadz Abdussalam, Ustadz Abdul Hamid Umar dan Ustadz Mishbahul Munir. Ternyata, sejak awal acara, dua tokoh Wahhabi itu sangat agresif menyampaikan ajarannya tentang bid’ah. Setelah saya amati, Ustadz Yazid Jawas banyak berbicara tentang bid’ah. Menurut Yazid Jawas, bid’ah hasanah itu tidak ada. Semua bid’ah pasti sesat dan masuk neraka. Menurut Yazid Jawas, apapun yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harus ditinggalkan, karena termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.
 
Di tengah-tengah presentasi tersebut saya bertanya kepada Yazid Jawas. “Anda sangat ekstrem dalam membicarakan bid’ah. Menurut Anda, apa saja yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu pasti bid’ah dan akan masuk neraka. Sekarang saya bertanya, Sayidina Umar bin al-Khaththab memulai tradisi shalat tarawih 20 raka’at dengan berjamaah, Sayidina Utsman menambah adzan Jum’at menjadi dua kali, sahabat-sahabat yang lain juga banyak yang membuat susunan-susunan dzikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Sekarang saya bertanya, beranikah Anda mengatakan bahwa Sayidina Umar, Sayidina Utsman dan sahabat lainnya termasuk ahli bid’ah dan akan masuk neraka?” Mendengar pertanyaan saya, Yazid Jawas hanya terdiam seribu bahasa, tidak bisa memberikan jawaban.
 
Setelah acara dialog selesai, saya menghampiri Yazid Jawas, dan saya katakan kepadanya, “Bagaimana kalau Anda kami ajak dialog dan debat secara terbuka dengan ulama kami. Apakah Anda siap?” “Saya tidak siap.” Demikian jawab Yazid Jawas seperti diceritakan oleh Ali Rahmat kepada saya.
 
Kisah serupa terjadi juga di Jember pada akhir Desember 2009. Dalam daurah tentang Syi’ah yang diadakan oleh Perhimpunan Al-Irsyad di Jember, ada beberapa mahasiswa STAIN Jember yang mengikutinya. Ternyata dalam daurah tersebut, tidak hanya membicarakan Syi’ah. Tetapi juga membicarakan tentang bid’ah dan ujung-ujungnya membid’ah-bid’ahkan amaliah kaum Muslimin di Tanah Air yang telah mengakar sejak beberapa abad yang silam.
 
Di antara pematerinya ada yang bernama Abu Hamzah Agus Hasan Bashori, tokoh Salafi dari Malang. Dalam kesempatan tersebut, Agus menyampaikan bahwa bid’ah itu sesat semua. Yang namanya bid’ah hasanah itu tidak ada. Apa saja yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, harus kita tinggalkan, karena itu termasuk bid’ah dan akan masuk neraka. Demikian konsep yang dipaparkan oleh Agus.
 
Dalam sesi tanya jawab, salah seorang mahasiswa dari Jember tadi ada yang bertanya: “Kalau konsep bid’ah seperti yang Anda paparkan barusan, bahwa semua bid’ah itu sesat, tidak ada bid’ah hasanah, dan bahwa apa saja yang tidak ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam harus kami tinggalkan, karena termasuk bid’ah. Sekarang bagaimana Anda menanggapi doa-doa yang disusun oleh para sahabat yang belum pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam? Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam sujud ketika shalat selama 40 tahun yang berbunyi:
 
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ. (الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ۲/۲٥٤).
 
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam shalat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).
 
Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun.
 
Demikian pula Syaikh Ibn Taimiyah, setiap habis shalat shubuh, melakukan dzikir bersama, lalu membaca surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari naik ke atas, sambil mengangkat kepalanya menghadap langit. Nah, sekarang saya bertanya, menurut Anda, apakah para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli bid’ah, berdasarkan konsep bid’ah yang Anda paparkan tadi? Karena jelas sekali, mereka melakukan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.”
 
Mendengar pertanyaan tersebut Agus ternyata tidak mampu menjawab dan malah bercerita tentang bid’ah hasanah Ibn Taimiyyah secara pribadi. Kisah ini diceritakan oleh beberapa teman saya, antara lain Is dan AD yang mengikuti acara daurah tersebut.
 
Demikianlah, konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi sangat lemah dan rapuh. Tidak mampu dipertahankan di arena diskusi ilmiah. Konsep anti bid’ah hasanah ala Wahhabi akan menemukan jalan buntu ketika dihadapkan dengan fakta bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam melegitimasi amaliah-amaliah baru yang dilakukan oleh para sahabat. Konsep tersebut akan runtuh pula ketika dibenturkan dengan fakta bahwa para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam banyak melakukan inovasi kebaikan dalam agama sebagaimana diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits yang otoritatif (mu’tabar).
 
==
Dari “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi” karya Ust. Muhammad Idrus Ramli,

Mencermati Gerakan Liberalisasi Islam di Pesantren



SEKITAR sebelas tahun yang lalu, padabulan Jumadal Ula tahun 1421 H., buletin Istinbat pada edisinya yang ke-12, menurunkan kajian utama bertajuk “Ijtihad Gadungan, Memusuhi Islam”. Topik utama tersebut diturunkan sebagai respons balik terhadap sanggahan yang dimunculkan oleh buletin Memorandum terbitan salah satu pesantren di Situbondo, yang menggugat rumusan hukum waris yang diluncurkan buletin Istinbat sebelumnya, pada edisi ke-5, Rabiul Awal 1421 H.
Alkisah, buletin Istinbat edisi 5 pada rubrik Fatawa megangkat tema seputar fenomena pembagian harta warisan dengan dasar rela sama rela (‘an tarâdhin). Berdasarkan dalil-dalil kuat yang telah dihimpun redaksi, serta dengan merujuk pada hasil keputusan bahtsul-masail yang diselenggarakan di sejumlah pesantren, maka dirumuskan bahwa praktik membagi harta warisan dengan dasar rela sama rela, tanpa mengikuti aturan sebagaimana ditetapkan dalam al-Qur’an, adalah bid’ah dhalâlah (tercela) dan hukumnya haram. Hal demikian karena praktik tersebut telah menyalahi aturan hukum Islam (syara’) yang ditetapkan dengan dalil yang qath‘î (definitif) dari al-Qur’an dan Hadis.
Namun kemudian, selanjutnya rumusan hukum tersebut digugat oleh buletin Memorandum. Dalam hal ini mereka menurunkan sanggahan itu dalam tulisan berjudul “Konsep Fiqh Mawarits tidak Adil?” Dalam tulisan ini, buletin tersebut dengan tegas menyimpulkan bahwa pembagian harta warisan tidak harus mengikuti aturan dalam pembagian warisan sebagaimana ditetapkan dalam al-Qur’an dan Hadis, akan tetapi boleh mengikuti model pembagian warisan yang telah mentradisi di masyarakat, yakni 1:1 bagi laki-laki dan perempuan. Agaknya, buletin Istinbat menilai sanggahan itu sebagai hal yang teramat serius, sehingga pada edisi 13, Istinbat kembali mengangkat tema ini dengan topik utama “Hukum Waris, Tradisi atau Qur’ani?”.
Apakah yang hendak penulis kemukakan dengan mengungkapkan ulang fakta tersebut? Bahwa tampak jelas di hadapan kita, jika ternyata fenomena pemahaman Islam yang ter-liberal-kan agaknya sudah menjangkiti sejumlah pesantren, bahkan sebelum model pemikiran itu menjadi demikian populer di Indonesia dengan di-launching-nya Jaringan Islam Liberal (JIL) pada bulan Maret 2001, dan menjadi sangat heboh ketika Ulil Abshar Abdalla, koordinator jaringan ini pada saat itu, memunculkan tulisan kontroversial di harian Kompas di bawah tajuk “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”.
Sekilas, corak pemikiran liberalisme yang mewarnai pesantren–sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang paling konsisten memegangi ajaran dan tradisinya–tampak sebagai fakta yang agak aneh–dan mungkin membuat sebagian kita terbelalak. Namun belakangan, para peneliti yang concern di bidang ini mengungkapkan suatu fakta, bahwa ternyata upaya liberalisasi Islam di Indonesia bukanlah ide yang digagas baru kemarin sore dan dilontarkan secara sporadis. Liberalisasi Islam di Indonesia adalah upaya serius yang digagas sejak lama, bahkan sejak periode penjajahan di negeri ini, dengan grand design yang matang, direncanakan secara sistematis, plus pendanaan yang sangat memadai.
Memang, di negara-negara Barat yang sangat berambisi menghegemoni negara-negara dunia ketiga dalam berbagai aspeknya, upaya liberalisasi Islam adalah bagian dari proyek yang amat ambisius dan ditangani secara serius. Dalam hal ini, mereka membangun pusat-pusat penelitian dan studi bangsa timur pada umumnya, dan pusat kajian Islam khususnya, yang tentu saja dikaji berdasarkan pandangan hidup dan kepentingan dunia Barat. Selanjutnya, pasca kemerdekaan bangsa Indonesia, pusat-pusat kajian Islam (Islamic studies) di Barat rajin mengucurkan beasiswa bagi para pelajar Islam di Indonesia untuk belajar di lembaga pendidikan kajian Islam di Barat. Kelak, para lulusan dari Barat ini akan menguasai pos-pos strategis di Indonesia, baik di sektor pemerintahan maupun di bidang pendidikan tinggi Islam.
Jika pada masa lalu konsentrasi liberalisasi Islam oleh dunia Barat lebih diarahkan ke Perguruan Tinggi Islam (PTI), lalu bagaimana corak pemikiran ini juga bisa menyusup masuk ke pesantren-pesantren? Untuk menjawab hal ini kita perlu merujuk pada wacana seputar pesantren yang mengemuka dan cukup marak sejak dekade 1970-an. Sejak periode itu, kita mendapati para pakar dunia pesantren, baik yang terdiri dari out-put pesantren maupun kalangan pemerhati pendidikan dari luar pesantren, banyak menuangkan ide-ide, gagasan-gagasan, atau pemikiran-pemikiran mereka untuk kemajuan pesantren. Dalam hal ini mereka melakukan penelitian, riset, kajian, dan mencurahkan segenap daya pikir mereka dengan cukup serius, untuk membawa pesantren sejejar dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia.
Dalam kerangka ini, pada tataran selanjutnya gagasan-gagasan yang didedikasikan oleh para pakar untuk dunia pesantren benar-benar diterapkan, salah satunya adalah ide untuk menyatukan konsep Perguruan Tinggi Islam (PTI) dan konsep pendidikan pesantren. Ide ini dipandang penting untuk diwujudkan karena dinilai masing-masing lembaga pendidikan (PTI dan pesantren) sama-sama memiliki nilai plus yang tidak ada pada yang lain. Jadi dalam wujud pendidikan baru yang terpadu ini, lembaga pendidikan Islam bisa menyatukan nilai-nilai positif yang sebelumnya menjadi karakter dan ciri khas masing-masing.
Tampaknya, konsep pendidikan semacam ini tampak disepakati keunggulannya, dan karenanya terus bergulir begitu saja tanpa ada otoritas apapun yang mengawal keberlang-sungannya, tanpa ada yang mempedulikan apakah pada praktiknya konsep ini akan berjalan sesuai gagasan awal atau tidak, termasuk ketika pesantren-pesantren selanjutnya berlomba-lomba mengadopsi konsep pendidikan terpadu ini ke dalam lembaga pendidikan masing-masing.
Bagaimanapun, pada umumnya pesantren-pesantren masih belum benar-benar siap untuk menerapkan pendidikan tinggi terpadu ini secara formal, sesuai dengan standar yang berlaku di Indonesia. Sebab dalam hal ini, mereka mesti menyiapkan sejumlah perangkat, kurikulum, dan tenaga pengajar (dosen) yang telah memenuhi kriteria; harus sudah menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi tertentu, dan seterusnya. Karena itu, untuk menjembatani ketimpangan ini, dengan terpaksa pesantren mesti mendatangkan tenaga pengajar dari luar lingkungan mereka yang–tentu saja–mindset dan cara pandangnya tidak sepenuhnya searah dengan asas, visi-misi, kultur dan tradisi pesantren. Tentu saja tenaga pengajar ini harus didatangkan dari Perguruan Tinggi Islam. Dan, pada saat kita menerima informasi akurat bahwa liberalisasi Islam ternyata telah bergulir–atau mungkin telah mengakar–di Perguruan Tinggi Islam sejak berpuluh-puluh tahun lamanya, kita merasa seakan segalanya telah terlambat, karena corak pemikiran liberalisme sedikit banyak juga telah mewarnai pemikiran santri-santri pondok pesantren, tanpa ada yang menyadari sebelumnya. Kasus pemikiran sekelompok santri yang mencoba keluar dari rekomendasi tegas al-Qur’an, sebagaimana penulis kemukakan di awal tulisan ini, sebetulnya juga terjadi di Perguruan Tinggi Islam yang dikelola oleh pesantren.
Selanjutnya, jika sebelum periode reformasi (1998) gerakan liberalisasi Islam di pesantren digulirkan secara datar dan tampak ‘alamiah’, maka pasca periode reformasi, program liberalisasi Islam di pesantren itu digulirkan secara besar-besaran, tanpa tedeng aling-aling, baik kita suka atau tidak. Kini, lembaga-lembaga liberal yang mewujud dalam rupa dan bentuk yang amat beragam, berlomba-lomba melakukan kajian intensif terhadap ajaran-ajaran dan pemikiran-pemikiran Islam yang tertuang dalam khazanah pesantren, yang umumnya bersifat distorsif-apologetik, serta mendobrak kebenaran yang sejak lama dipegangi oleh kaum pesantren. Di samping itu, lembaga-lembaga kaum liberalis juga rajin menyelenggarakan pelatihan-pelatihan yang menyertakan kaum pesantren, mengajari mereka untuk juga bisa menerima ide-ide destruktif terhadap Islam sebagaimana yang mereka peluk.
Gambaran lugas dari usaha kalangan intelektual liberal yang berupaya melakukan liberalisasi terhadap ajaran Islam yang tertuang dalam khazanah pesantren, antara lain, adalah apa yang dilakukan oleh organisasi liberal yang menamakan diri mereka Forum Kajian Kitab Kuning (FK3). Forum ini dibidani antara lain oleh Sinta Nuriyah, Masdar F. Mas’udi, dan Husein Muhammad. Pada tahun 2001, FK3 meluncurkan buku kontroversial berjudul “Wajah Baru Relasi Suami Istri; Telaah Kitab ‘Uqudul-Lujain”. Sebagaiamana tersirat dari judulnya, isi buku ini memang mengkritik habis tatanan relasi suami-istri dalam Islam yang dituangkan oleh penulis kitab ‘Uqûdul-Lujain, Syekh Nawawi Banten. Forum ini mengklaim telah melakukan penelitian dan kajian selama empat tahun terhadap kitab ‘Uqûdul-Lujain. Penelitian tersebut mengungkapkan sejumlah kesalahan dalam kitab ‘Uqûdul-Lujain yang dinilai bisa menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.
Menurut kelompok liberal yang tergabung dalam FK3, kitab ‘Uqûdul-Lujain sangat diskriminatif dan merugikan perempuan. Tatanan relasi suami-istri yang tertuang dalam ‘Uqudul-Lujain dinilai sudah tidak relevan dengan konteks kehidupan masa kini, dan karena itu perlu dirombak total. Di samping itu, mereka menganggap Syekh Nawawi Banten cenderung tidak objektif dalam melakukan kajian, karena beliau hanya melakukan pembelaan terhadap kaum laki-laki. Padahal Syekh Nawawi Banten adalah seorang ulama yang disepakati keabsahan kajiannya oleh para ulama di seluruh Asia Tenggara. Bahkan di Mekah, beliau mendapat julukan sayyidu ‘ulamâ’il-Hijâz (penghulu para ulama Hejaz) lantaran kepakarannya di bidang fikih dan tafsir tak terbantahkan. Tentu saja, orang yang memiliki akal sehat akan dengan mudah menolak mentah-mentah kelompok yang ingin merombak tatanan Islam terkait dengan relasi suami-istri dan rumah tangga ini, terlebih setelah kemudian kelompok liberal ini justru menjadi pembela tindakan-tindakan amoral di garda depan. Merekalah kelompok yang tidak risau jika lelaki dan perempuan non-mahram berciuman dengan alasan silaturrahim dan tradisi, membela pornografi dan pornoaksi dengan dalih kebebasan berekspresi, menolak pemberangusan lokalisasi pekerja seks komersial dengan dalih profesi, dan lain sebagainya. Adakah moral seperti ini yang dianggap lebih beradab dan lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam daripada tatanan Islam yang diajarkan oleh para ulama dalam karya-karya mereka?
Di samping gerakan mengobrak-abrik ajaran Islam di pesantren, sebagaimana tergambar dengan jelas dari upaya riil yang dilakukan oleh FK3 di atas, kelompok liberalis juga berupaya menopang gerakan ini dengan cara memberikan pemahaman tentang ajaran-ajaran liberalisme yang sekiranya bisa diterima kalangan pesantren dengan tanpa kejanggalan atau penolakan. Upaya semacam ini rajin dilakukan oleh lembaga-lembaga dan organisasi kelompok liberalis, salah satunya adalah Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta. Dalam hal ini, misalnya, P3M pernah giat menyelenggarakan “Pelatihan Fikih Tasamuh” (gagasan fikih toleransi) untuk kader-kader pesantren atau para santri. Di sini, pada dasarnya P3M mengajari kader-kader pesantren tentang pluralieme agama atau paham yang menganggap semua agama adalah benar. Bagaimanapun, semua insan pesantren faham betul jika menurut mereka, agama yang benar hanya Islam. Akan tetapi tajuk pelatihan yang berupa “Fikih Tasamuh” tampaknya sengaja dipilih oleh P3M agar akrab dengan dunia pesantren dan tidak menimbulkan rasa curiga. Dengan demikian, sebagaimana mudah diduga, orang-orang pesantren menghadiri undangan pelatihan ini tanpa ada rasa keberatan sama sekali, kendati kemudian mereka diajari tentang prinsip-prinsip pluralisme agama–yang mereka istilahkan dengan toleransi beragama atau kerukunan antar-pemeluk agama.
Berkenaan degan pelatihan Fikih Tasamuh yang diselenggarakan oleh P3M ini, penulis juga sempat mengikuti pelatihannya yang saat itu diseleng-garakan di salah satu pesantren di Tanah Merah Bangkalan (12-15 Januari 2007). Selanjutnya, acara serupa juga diselenggarakan di Wisma Rupalesta, Palembang (12-15 Maret 2007). Sebagaimana terpampang dengan jelas dalam programnya, bahwa P3M dibentuk agar semangat toleransi beragama benar-benar tercipta di lingkungan pesantren. Bahkan saati itu, Zuhairi Misrawi (Koordinator P3M) dalam salah satu penyampaiannya menyatakan bahwa sebetulnya orang Kristen juga percaya jika Tuhan itu satu, sementara faham trinitas lebih sebagai sifat atau nama Tuhan yang berbeda-beda. Tentu saja ini adalah penyesatan opini yang nyata.
Wallâhu A‘lam, barangkali ajaran-ajaran liberalisme yang diusung oleh para sales pemikiran Barat di Indonesia, dan dijajakan ke pesantren-pesantren ini, memang telah benar-benar meresap ke benak sebagian santri pondok pesantren. Sebab, selanjutnya penulis sendiri acap kali mendengar pernyataan-pernyataan santri pondok pesantren yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai luhur yang diajarkan di pesantren, namun lebih mempresentasikan nilai-nilai Barat liberal yang biasa diusung oleh kalangan liberalis di Indonesia. Hal ini salah satunya penulis tangkap dari pernyataan salah seorang santri dalam acara simposium nasional bertajuk “Halaqah Empowering Civitas Akademika Ma’had Ali 2006”. Dalam acara yang diselenggarakan pada 21 Nopember 2006 di Asrama Haji Surabaya ini, salah serang utusan pesantren melontarkan kata-kata sedemikian: “Saya sudah muak dengan bahtsul-masail yang diselenggarakan di pesantren. Bagi saya, hal-hal seperti itu tidak dapat menyelesaikan masalah, tapi justru semakin menambah masalah”.
Bagaimanapun, ungkapan di atas tampak lebih mendekati pernyataan liberalis tulen daripada pernyataan seorang santri. Mencibir tradisi luhur pesantren nyaris tidak ada bedanya dengan mengolok-olok karya-karya para ulama. Keduanya adalah kebiasaan para pengasong pemikiran liberalisme dan sangat jauh dari nilai-nilai luhur pesantren. Simaklah misalnya salah satu ungkapan yang tertuang di dalam buku Fiqih Lintas Agama berikut: “Buku-buku fikih klasik sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sosial dan kemanusiaan, tidak kontekstual dan bersifat eksklusif... Karya-karya ulama klasik sangat diskriminatif, tidak manusiawi, melahirkan ketegangan antar-umat baragama, melahirkan kekerasan, berpihak kepada kepentingan dan untuk mengokohkan penguasa.” Jika ungkapan semacam ini muncul dari mulut seorang santri, itu artinya adab Islami yang luhur telah tercerabut dari akar tradisi mereka.
Bahtsul-masail adalah tradisi luhur pesantren yang diwariskan oleh para ulama terdahulu. Musyawarah fiqhiyyah ini diselenggarakan untuk mencapai mufakat dalam menyelesaikan persoalan aktual yang terjadi di masyarakat, dengan merujuk pada karya-karya ulama yang telah disepakati keabsahannya, karena menggunakan metodologi baku dalam menggali rumusan hukum dari landasan-landasan hukum Islam (al-Qur’an, Hadis, Ijmak, dan Kiyas). Jika pernyataan di atas dilontarkan oleh kelompok liberal atau mereka yang tidak memahami tradisi luhur dan khazanah pesantren, barangkali masih bisa dimaklumi. Namun apa jadinya jika kata-kata itu justru muncul dari seorang santri yang sedang menimba ilmu di pesantren? Maka tak ada asumsi lain yang bisa kita tarik sebagai kesimpulan, selain bahwa fakatanya sebagian pesantren memang telah di susupi pemikiran-pemikiran liberal.
Memang, belakangan dalam berbagai kesempatan seperti seminar dan bedah buku, penulis cukup sering mendapati santri pondok pesantren yang menyuarakan ide-ide liberalisme–yang mungkin tanpa mereka sadari, seperti klaim bahwa sebetulnya hermeneutika itu tidak berbeda dengan konsep tafsir al-Qur’an yang dirumuskan oleh para ulama, gagasan berpacaran secara ‘Islami’, bahkan pernah juga, dalam kesempatan bedah buku Menelaah Pemikiran Agus Mustofa, penulis temuai santri yang berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad e itu tidak ummi alias bisa baca tulis–suatu pendapat yang lumrahnya dihembuskan oleh kalangan liberalis yang mereka pelajari dari para orientalis Yahudi dan Kristen Barat.

Senin, 21 Februari 2011

Kebodohan dan Kedunguan Wahabi

Pada tanggal 1 Muharram 1432 Hijriyah saya duduk di masjid jami' Sampang. Sekonyong-konyong pemuda berbusana yang menjadi pakaian khas Wahabi datang menghampiriku. Ia menilai ibadah yang dijalankan umat sekarang banyak yang menyimpang dari apa yang telah dicontohkan nabi Muhammad. Menurutnya, umat sekarang telah banyak terjerumus dalam jurang kesesatan karena melakukan perbuatan bid'ah. Selang kemudian, pemuda itu melaksanakan salat Ashar. Anehnya, ia salat fardu sendirian. Padahal di dalam masjid itu salat jamaah masih berlangsung. Apakah ibadah yang ia lakukan tadi pernah dipraktekkan nabi Muhammad SAW? Wahai Wahabi, engkau ternyata terjerembab dalam gelapnya kebodohan. Namun kau tak merasakannya.