Rabu, 02 Maret 2011

Mencermati Gerakan Liberalisasi Islam di Pesantren



SEKITAR sebelas tahun yang lalu, padabulan Jumadal Ula tahun 1421 H., buletin Istinbat pada edisinya yang ke-12, menurunkan kajian utama bertajuk “Ijtihad Gadungan, Memusuhi Islam”. Topik utama tersebut diturunkan sebagai respons balik terhadap sanggahan yang dimunculkan oleh buletin Memorandum terbitan salah satu pesantren di Situbondo, yang menggugat rumusan hukum waris yang diluncurkan buletin Istinbat sebelumnya, pada edisi ke-5, Rabiul Awal 1421 H.
Alkisah, buletin Istinbat edisi 5 pada rubrik Fatawa megangkat tema seputar fenomena pembagian harta warisan dengan dasar rela sama rela (‘an tarâdhin). Berdasarkan dalil-dalil kuat yang telah dihimpun redaksi, serta dengan merujuk pada hasil keputusan bahtsul-masail yang diselenggarakan di sejumlah pesantren, maka dirumuskan bahwa praktik membagi harta warisan dengan dasar rela sama rela, tanpa mengikuti aturan sebagaimana ditetapkan dalam al-Qur’an, adalah bid’ah dhalâlah (tercela) dan hukumnya haram. Hal demikian karena praktik tersebut telah menyalahi aturan hukum Islam (syara’) yang ditetapkan dengan dalil yang qath‘î (definitif) dari al-Qur’an dan Hadis.
Namun kemudian, selanjutnya rumusan hukum tersebut digugat oleh buletin Memorandum. Dalam hal ini mereka menurunkan sanggahan itu dalam tulisan berjudul “Konsep Fiqh Mawarits tidak Adil?” Dalam tulisan ini, buletin tersebut dengan tegas menyimpulkan bahwa pembagian harta warisan tidak harus mengikuti aturan dalam pembagian warisan sebagaimana ditetapkan dalam al-Qur’an dan Hadis, akan tetapi boleh mengikuti model pembagian warisan yang telah mentradisi di masyarakat, yakni 1:1 bagi laki-laki dan perempuan. Agaknya, buletin Istinbat menilai sanggahan itu sebagai hal yang teramat serius, sehingga pada edisi 13, Istinbat kembali mengangkat tema ini dengan topik utama “Hukum Waris, Tradisi atau Qur’ani?”.
Apakah yang hendak penulis kemukakan dengan mengungkapkan ulang fakta tersebut? Bahwa tampak jelas di hadapan kita, jika ternyata fenomena pemahaman Islam yang ter-liberal-kan agaknya sudah menjangkiti sejumlah pesantren, bahkan sebelum model pemikiran itu menjadi demikian populer di Indonesia dengan di-launching-nya Jaringan Islam Liberal (JIL) pada bulan Maret 2001, dan menjadi sangat heboh ketika Ulil Abshar Abdalla, koordinator jaringan ini pada saat itu, memunculkan tulisan kontroversial di harian Kompas di bawah tajuk “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam”.
Sekilas, corak pemikiran liberalisme yang mewarnai pesantren–sebagai lembaga pendidikan agama Islam yang paling konsisten memegangi ajaran dan tradisinya–tampak sebagai fakta yang agak aneh–dan mungkin membuat sebagian kita terbelalak. Namun belakangan, para peneliti yang concern di bidang ini mengungkapkan suatu fakta, bahwa ternyata upaya liberalisasi Islam di Indonesia bukanlah ide yang digagas baru kemarin sore dan dilontarkan secara sporadis. Liberalisasi Islam di Indonesia adalah upaya serius yang digagas sejak lama, bahkan sejak periode penjajahan di negeri ini, dengan grand design yang matang, direncanakan secara sistematis, plus pendanaan yang sangat memadai.
Memang, di negara-negara Barat yang sangat berambisi menghegemoni negara-negara dunia ketiga dalam berbagai aspeknya, upaya liberalisasi Islam adalah bagian dari proyek yang amat ambisius dan ditangani secara serius. Dalam hal ini, mereka membangun pusat-pusat penelitian dan studi bangsa timur pada umumnya, dan pusat kajian Islam khususnya, yang tentu saja dikaji berdasarkan pandangan hidup dan kepentingan dunia Barat. Selanjutnya, pasca kemerdekaan bangsa Indonesia, pusat-pusat kajian Islam (Islamic studies) di Barat rajin mengucurkan beasiswa bagi para pelajar Islam di Indonesia untuk belajar di lembaga pendidikan kajian Islam di Barat. Kelak, para lulusan dari Barat ini akan menguasai pos-pos strategis di Indonesia, baik di sektor pemerintahan maupun di bidang pendidikan tinggi Islam.
Jika pada masa lalu konsentrasi liberalisasi Islam oleh dunia Barat lebih diarahkan ke Perguruan Tinggi Islam (PTI), lalu bagaimana corak pemikiran ini juga bisa menyusup masuk ke pesantren-pesantren? Untuk menjawab hal ini kita perlu merujuk pada wacana seputar pesantren yang mengemuka dan cukup marak sejak dekade 1970-an. Sejak periode itu, kita mendapati para pakar dunia pesantren, baik yang terdiri dari out-put pesantren maupun kalangan pemerhati pendidikan dari luar pesantren, banyak menuangkan ide-ide, gagasan-gagasan, atau pemikiran-pemikiran mereka untuk kemajuan pesantren. Dalam hal ini mereka melakukan penelitian, riset, kajian, dan mencurahkan segenap daya pikir mereka dengan cukup serius, untuk membawa pesantren sejejar dengan lembaga-lembaga pendidikan tinggi Islam di Indonesia.
Dalam kerangka ini, pada tataran selanjutnya gagasan-gagasan yang didedikasikan oleh para pakar untuk dunia pesantren benar-benar diterapkan, salah satunya adalah ide untuk menyatukan konsep Perguruan Tinggi Islam (PTI) dan konsep pendidikan pesantren. Ide ini dipandang penting untuk diwujudkan karena dinilai masing-masing lembaga pendidikan (PTI dan pesantren) sama-sama memiliki nilai plus yang tidak ada pada yang lain. Jadi dalam wujud pendidikan baru yang terpadu ini, lembaga pendidikan Islam bisa menyatukan nilai-nilai positif yang sebelumnya menjadi karakter dan ciri khas masing-masing.
Tampaknya, konsep pendidikan semacam ini tampak disepakati keunggulannya, dan karenanya terus bergulir begitu saja tanpa ada otoritas apapun yang mengawal keberlang-sungannya, tanpa ada yang mempedulikan apakah pada praktiknya konsep ini akan berjalan sesuai gagasan awal atau tidak, termasuk ketika pesantren-pesantren selanjutnya berlomba-lomba mengadopsi konsep pendidikan terpadu ini ke dalam lembaga pendidikan masing-masing.
Bagaimanapun, pada umumnya pesantren-pesantren masih belum benar-benar siap untuk menerapkan pendidikan tinggi terpadu ini secara formal, sesuai dengan standar yang berlaku di Indonesia. Sebab dalam hal ini, mereka mesti menyiapkan sejumlah perangkat, kurikulum, dan tenaga pengajar (dosen) yang telah memenuhi kriteria; harus sudah menyelesaikan jenjang pendidikan tinggi tertentu, dan seterusnya. Karena itu, untuk menjembatani ketimpangan ini, dengan terpaksa pesantren mesti mendatangkan tenaga pengajar dari luar lingkungan mereka yang–tentu saja–mindset dan cara pandangnya tidak sepenuhnya searah dengan asas, visi-misi, kultur dan tradisi pesantren. Tentu saja tenaga pengajar ini harus didatangkan dari Perguruan Tinggi Islam. Dan, pada saat kita menerima informasi akurat bahwa liberalisasi Islam ternyata telah bergulir–atau mungkin telah mengakar–di Perguruan Tinggi Islam sejak berpuluh-puluh tahun lamanya, kita merasa seakan segalanya telah terlambat, karena corak pemikiran liberalisme sedikit banyak juga telah mewarnai pemikiran santri-santri pondok pesantren, tanpa ada yang menyadari sebelumnya. Kasus pemikiran sekelompok santri yang mencoba keluar dari rekomendasi tegas al-Qur’an, sebagaimana penulis kemukakan di awal tulisan ini, sebetulnya juga terjadi di Perguruan Tinggi Islam yang dikelola oleh pesantren.
Selanjutnya, jika sebelum periode reformasi (1998) gerakan liberalisasi Islam di pesantren digulirkan secara datar dan tampak ‘alamiah’, maka pasca periode reformasi, program liberalisasi Islam di pesantren itu digulirkan secara besar-besaran, tanpa tedeng aling-aling, baik kita suka atau tidak. Kini, lembaga-lembaga liberal yang mewujud dalam rupa dan bentuk yang amat beragam, berlomba-lomba melakukan kajian intensif terhadap ajaran-ajaran dan pemikiran-pemikiran Islam yang tertuang dalam khazanah pesantren, yang umumnya bersifat distorsif-apologetik, serta mendobrak kebenaran yang sejak lama dipegangi oleh kaum pesantren. Di samping itu, lembaga-lembaga kaum liberalis juga rajin menyelenggarakan pelatihan-pelatihan yang menyertakan kaum pesantren, mengajari mereka untuk juga bisa menerima ide-ide destruktif terhadap Islam sebagaimana yang mereka peluk.
Gambaran lugas dari usaha kalangan intelektual liberal yang berupaya melakukan liberalisasi terhadap ajaran Islam yang tertuang dalam khazanah pesantren, antara lain, adalah apa yang dilakukan oleh organisasi liberal yang menamakan diri mereka Forum Kajian Kitab Kuning (FK3). Forum ini dibidani antara lain oleh Sinta Nuriyah, Masdar F. Mas’udi, dan Husein Muhammad. Pada tahun 2001, FK3 meluncurkan buku kontroversial berjudul “Wajah Baru Relasi Suami Istri; Telaah Kitab ‘Uqudul-Lujain”. Sebagaiamana tersirat dari judulnya, isi buku ini memang mengkritik habis tatanan relasi suami-istri dalam Islam yang dituangkan oleh penulis kitab ‘Uqûdul-Lujain, Syekh Nawawi Banten. Forum ini mengklaim telah melakukan penelitian dan kajian selama empat tahun terhadap kitab ‘Uqûdul-Lujain. Penelitian tersebut mengungkapkan sejumlah kesalahan dalam kitab ‘Uqûdul-Lujain yang dinilai bisa menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat.
Menurut kelompok liberal yang tergabung dalam FK3, kitab ‘Uqûdul-Lujain sangat diskriminatif dan merugikan perempuan. Tatanan relasi suami-istri yang tertuang dalam ‘Uqudul-Lujain dinilai sudah tidak relevan dengan konteks kehidupan masa kini, dan karena itu perlu dirombak total. Di samping itu, mereka menganggap Syekh Nawawi Banten cenderung tidak objektif dalam melakukan kajian, karena beliau hanya melakukan pembelaan terhadap kaum laki-laki. Padahal Syekh Nawawi Banten adalah seorang ulama yang disepakati keabsahan kajiannya oleh para ulama di seluruh Asia Tenggara. Bahkan di Mekah, beliau mendapat julukan sayyidu ‘ulamâ’il-Hijâz (penghulu para ulama Hejaz) lantaran kepakarannya di bidang fikih dan tafsir tak terbantahkan. Tentu saja, orang yang memiliki akal sehat akan dengan mudah menolak mentah-mentah kelompok yang ingin merombak tatanan Islam terkait dengan relasi suami-istri dan rumah tangga ini, terlebih setelah kemudian kelompok liberal ini justru menjadi pembela tindakan-tindakan amoral di garda depan. Merekalah kelompok yang tidak risau jika lelaki dan perempuan non-mahram berciuman dengan alasan silaturrahim dan tradisi, membela pornografi dan pornoaksi dengan dalih kebebasan berekspresi, menolak pemberangusan lokalisasi pekerja seks komersial dengan dalih profesi, dan lain sebagainya. Adakah moral seperti ini yang dianggap lebih beradab dan lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam daripada tatanan Islam yang diajarkan oleh para ulama dalam karya-karya mereka?
Di samping gerakan mengobrak-abrik ajaran Islam di pesantren, sebagaimana tergambar dengan jelas dari upaya riil yang dilakukan oleh FK3 di atas, kelompok liberalis juga berupaya menopang gerakan ini dengan cara memberikan pemahaman tentang ajaran-ajaran liberalisme yang sekiranya bisa diterima kalangan pesantren dengan tanpa kejanggalan atau penolakan. Upaya semacam ini rajin dilakukan oleh lembaga-lembaga dan organisasi kelompok liberalis, salah satunya adalah Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta. Dalam hal ini, misalnya, P3M pernah giat menyelenggarakan “Pelatihan Fikih Tasamuh” (gagasan fikih toleransi) untuk kader-kader pesantren atau para santri. Di sini, pada dasarnya P3M mengajari kader-kader pesantren tentang pluralieme agama atau paham yang menganggap semua agama adalah benar. Bagaimanapun, semua insan pesantren faham betul jika menurut mereka, agama yang benar hanya Islam. Akan tetapi tajuk pelatihan yang berupa “Fikih Tasamuh” tampaknya sengaja dipilih oleh P3M agar akrab dengan dunia pesantren dan tidak menimbulkan rasa curiga. Dengan demikian, sebagaimana mudah diduga, orang-orang pesantren menghadiri undangan pelatihan ini tanpa ada rasa keberatan sama sekali, kendati kemudian mereka diajari tentang prinsip-prinsip pluralisme agama–yang mereka istilahkan dengan toleransi beragama atau kerukunan antar-pemeluk agama.
Berkenaan degan pelatihan Fikih Tasamuh yang diselenggarakan oleh P3M ini, penulis juga sempat mengikuti pelatihannya yang saat itu diseleng-garakan di salah satu pesantren di Tanah Merah Bangkalan (12-15 Januari 2007). Selanjutnya, acara serupa juga diselenggarakan di Wisma Rupalesta, Palembang (12-15 Maret 2007). Sebagaimana terpampang dengan jelas dalam programnya, bahwa P3M dibentuk agar semangat toleransi beragama benar-benar tercipta di lingkungan pesantren. Bahkan saati itu, Zuhairi Misrawi (Koordinator P3M) dalam salah satu penyampaiannya menyatakan bahwa sebetulnya orang Kristen juga percaya jika Tuhan itu satu, sementara faham trinitas lebih sebagai sifat atau nama Tuhan yang berbeda-beda. Tentu saja ini adalah penyesatan opini yang nyata.
Wallâhu A‘lam, barangkali ajaran-ajaran liberalisme yang diusung oleh para sales pemikiran Barat di Indonesia, dan dijajakan ke pesantren-pesantren ini, memang telah benar-benar meresap ke benak sebagian santri pondok pesantren. Sebab, selanjutnya penulis sendiri acap kali mendengar pernyataan-pernyataan santri pondok pesantren yang sama sekali tidak mencerminkan nilai-nilai luhur yang diajarkan di pesantren, namun lebih mempresentasikan nilai-nilai Barat liberal yang biasa diusung oleh kalangan liberalis di Indonesia. Hal ini salah satunya penulis tangkap dari pernyataan salah seorang santri dalam acara simposium nasional bertajuk “Halaqah Empowering Civitas Akademika Ma’had Ali 2006”. Dalam acara yang diselenggarakan pada 21 Nopember 2006 di Asrama Haji Surabaya ini, salah serang utusan pesantren melontarkan kata-kata sedemikian: “Saya sudah muak dengan bahtsul-masail yang diselenggarakan di pesantren. Bagi saya, hal-hal seperti itu tidak dapat menyelesaikan masalah, tapi justru semakin menambah masalah”.
Bagaimanapun, ungkapan di atas tampak lebih mendekati pernyataan liberalis tulen daripada pernyataan seorang santri. Mencibir tradisi luhur pesantren nyaris tidak ada bedanya dengan mengolok-olok karya-karya para ulama. Keduanya adalah kebiasaan para pengasong pemikiran liberalisme dan sangat jauh dari nilai-nilai luhur pesantren. Simaklah misalnya salah satu ungkapan yang tertuang di dalam buku Fiqih Lintas Agama berikut: “Buku-buku fikih klasik sudah tidak sesuai lagi dengan kondisi sosial dan kemanusiaan, tidak kontekstual dan bersifat eksklusif... Karya-karya ulama klasik sangat diskriminatif, tidak manusiawi, melahirkan ketegangan antar-umat baragama, melahirkan kekerasan, berpihak kepada kepentingan dan untuk mengokohkan penguasa.” Jika ungkapan semacam ini muncul dari mulut seorang santri, itu artinya adab Islami yang luhur telah tercerabut dari akar tradisi mereka.
Bahtsul-masail adalah tradisi luhur pesantren yang diwariskan oleh para ulama terdahulu. Musyawarah fiqhiyyah ini diselenggarakan untuk mencapai mufakat dalam menyelesaikan persoalan aktual yang terjadi di masyarakat, dengan merujuk pada karya-karya ulama yang telah disepakati keabsahannya, karena menggunakan metodologi baku dalam menggali rumusan hukum dari landasan-landasan hukum Islam (al-Qur’an, Hadis, Ijmak, dan Kiyas). Jika pernyataan di atas dilontarkan oleh kelompok liberal atau mereka yang tidak memahami tradisi luhur dan khazanah pesantren, barangkali masih bisa dimaklumi. Namun apa jadinya jika kata-kata itu justru muncul dari seorang santri yang sedang menimba ilmu di pesantren? Maka tak ada asumsi lain yang bisa kita tarik sebagai kesimpulan, selain bahwa fakatanya sebagian pesantren memang telah di susupi pemikiran-pemikiran liberal.
Memang, belakangan dalam berbagai kesempatan seperti seminar dan bedah buku, penulis cukup sering mendapati santri pondok pesantren yang menyuarakan ide-ide liberalisme–yang mungkin tanpa mereka sadari, seperti klaim bahwa sebetulnya hermeneutika itu tidak berbeda dengan konsep tafsir al-Qur’an yang dirumuskan oleh para ulama, gagasan berpacaran secara ‘Islami’, bahkan pernah juga, dalam kesempatan bedah buku Menelaah Pemikiran Agus Mustofa, penulis temuai santri yang berkeyakinan bahwa Nabi Muhammad e itu tidak ummi alias bisa baca tulis–suatu pendapat yang lumrahnya dihembuskan oleh kalangan liberalis yang mereka pelajari dari para orientalis Yahudi dan Kristen Barat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar